Sabtu, 28 Februari 2009

Home school

Home Schooling Sebagai Pendidikan Alternatif
Thursday, 26 July 2007
Orangtua dan siswa serta para guru lebih mengedepankan nilai dibanding kualitas pribadi dan minat siswa.Untuk memperbaiki itu semua, kita harus berani keluar dari sistem yang sebenarnya banyak mengarah pada tertib administrasi saja, bukan filosofi pendidikan seperti seharusnya. Belakangan ini, konsep belajar di rumah atau akrab dikenal sebagai home schooling nampaknya menjadi fenomena menarik dalam dunia pendidikan. Pasalnya, sekolah formal selain dianggap kurang memberi perhatian besar kepada diri peserta didik, juga dianggap kurang efektif dan efisien dalam rangka menjawab pemenuhan kebutuhan kecerdasan
siswa didik, yakni intelektual, emosional dan spiritual. Di samping itu, di tengah keraguan terhadap mutu pendidikan nasional sekaligus mahalnya biaya sekolah berstandar internasional, model pendidikan home schooling dirasa bisa menjadi model sekolah alternatif. Lebih dari itu, ia juga bisa menjadi solusi jitu memerdekakan pendidikan di Indonesia yang selama ini masih terbelenggu oleh system kekuasaan yang hegemonik. Misal saja, gonta-gantinya kurikulum terus saja berlangsung sembari merubah buku ajar dan
menaikkan biaya sekolah. Dalam konteks semacam ini, pakar pendidikan Jogjakarta, Prof Djohar, mengatakan bahwa kini sudah saatnya
diterapkan upaya memerdekakan pendidikan yang selama ini terjebak dalam belitan birokrasi yang sebenarnya justru merugikan banyak pihak. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan, justru kehilangan arah dan tujuan utama yakni menciptakan manusia yang berbudaya. Standar yang diterapkan secara tidak masuk akal dan menyamaratakan semua siswa, lanjut Djohar, menjadikan sekolah sebagai institusi pendidikan formal yang bahkan tidak menyentuh sisi pendidikan dan mementingkan pembelajaran. Hal itu membuat tujuan utama pendidikan menjadi terlupakan. Orangtua dan siswa serta para guru lebih mengedepankan nilai dibanding kualitas pribadi dan minat siswa. Untuk memperbaiki itu semua, kita harus berani keluar
dari sistem yang sebenarnya banyak mengarah pada tertib administrasi saja, bukan filosofi pendidikan seperti
seharusnya. Sistem pendidikan yang seperti itu hanya akan memunculkan masalah-masalah baru yang saling berkaitan, karena tujuan pendidikan sudah bergeser. Masalah tersebut diperparah dengan adanya persepsi negatif masyarakat tentang sekolah dan pendidikan. Masyarakat terseret semakin dalam dan tidak banyak yang menyadari bahwa masalah itu berbahaya apabila tidak segera dibenahi. Adanya jual beli gelar dan ijazah palsu, hanyalah satu dari setumpuk masalah dalam dunia pendidikan kita. Hal itu timbul
karena orientasi pendidikan sudah bukan lagi untuk menjadi manusia berbudaya, tetapi manusia yang memiliki pengetahuan serta nilai akademis bagus. Sekolah sebagai institusi pendidikan tidak memiliki kebebasan untuk mengelola sendiri sekolahnya, meskipun sudah ada Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management). Diperlukan adanya kebebasan dalam mengelola sekolah
dan sedikit melonggarkan sekolah untuk menjadi "diri sendiri". Dengan sekolah yang bebas, maka siswa juga akan mendapatkan kebebasan untuk belajar dengan lebih baik. Sistem
pendidikan yang demikian, harus segera diubah. Bila tidak, maka yang terjadi adalah kerusakan generasi yang nantinya akan menghancurkan bangsa. Dalam konteks semacam itu, home schooling hadir menawarkan jalankeluar mengenai masalah tersebut. Namun Surya Online
http://www.surya.co.id/web Powered by Joomla! - @copyright Copyright (C) 2005 Open Source MattersG. Aenll errigahtetsd :r e2s8e Frveebdruary, 2009, 11:21 demikian, implementasi home schooling di Indonesia tidak semudah membalik telapak tangan karena halangan birokrasi. Terutama terkait dengan pengakuan para siswa yang merupakan output sistem tersebut. Meskipun sebetulnya hal itu bukan masalah, karena siswa lulusan home schooling bisa diukur tingkat pengetahuannya oleh badan standarisasi.
Pendidikan Rumah
Sebagai pendidikan alternatif, praktik model pendidikan rumah atau homeschooling, tentu bagi sebagian pihak cukup bagus. Sebab, dengan konsep pendidikan berbasis rumah, seorang anak bisa lebih dekat dengan keluarga. Selain itu
home schooler (sebutan bagi anak yang belajar di rumah) juga bisa mengikuti ujian penyetaraan paket A untuk tingkat SD, paket B untuk SMP, dan paket C untuk SMA. Apalagi bagi anak yang berkebutuhan khusus. Karenanya, pendidikan model begini tidak bertentangan dan sah-sah saja untuk bisa diterapkan dalam rangka menjawab pertanyaan pendidikan bagi semua (education for all). Tentu saja,
tujuannya selain mereka bisa mengakses pendidikan juga agar mereka memperoleh perhatian yang intensif dari orang tua, khususnya ibu. Menurut pengamat pendidikan Nibras OR Salim, posisi ibu bagaikan madrasah bagi anak-anaknya. Al-ummu Madrasatun. Dalam konteks semacam itu, mereka (anak-anak) semestinya mendapatkan perhatian lebih dari seorang ibu. Apalagi hampir mayoritas bila seorang ibu banyak berkutat di ranah domestik. Jadi, mereka dapat berinteraksi secara langsung dengan buah hatinya.
Kalaupun ada yang bekerja di perusahaan, lembaga pemerintahan ataupun berwirausaha, seorang ibu tetap mesti meluangkan banyak waktu untuk membimbing dan mendidik anaknya. Seorang ayah pun posisinya sama. Mesti memberikan kasih sayang kepada anak-anak di rumah, tidak lantas bersikap
keras kepada anak. Sebagai contoh, karena anaknya berkebutuhan khusus, sikap dan tindakan pun seolah diskriminatif. Cuek, easy going, kesal, inferior, marah dan aneka macam perasaan yang menggambarkan ketidakbanggaan memiliki anak berkebutuhan khusus. Anak yang berkebutuhan khusus seperti penderita autisme, hiperaktif, retardasi mental dan sebagainya, tentu saja tidak boleh dipilah-pilah. Mereka juga berhak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan (life skill) agar hidupnya lebih
bermakna. Oleh karena itu, pada hari ini patut kiranya bila kita mulai mengencangkan ikat pinggang. Bersiap-siap melindungi anak-anak dari serangan arus gelombang informasi yang mengglobal dengan menciptakan rumah belajar yang baik dan kondusif. Dalam konteks seperti ini, maka home schooling masih tetap membutuhkan kurikulum dan standardisasinya bisa mengacu pada kurikulum nasional yang sedang berlaku. Meski demikian, home schooler tak perlu kaku hanya menerapkan satu kurikulum. Orang tua boleh memilihkurikulum yang sesuai dengan anaknya.
Menurut Helen Ongko, Kepala Morning Star Academy (MSA), sebuah komunitas home schooler di Jakarta dan
Surabaya, mengatakan bahwa kurikulum diperlukan sebagai panduan bagi anak dalam belajar. Di home schooling, tidak semua mata pelajaran dalam kurikulum harus dibebankan kepada anak-anak.
Mereka bebas mempelajari apa yang disukai, asalkan tetap mengikuti tata tertib dan disiplin yang telah disepakati bersama orang tua. Kurikulum dari negara manapun boleh. Sebab, salah satu tujuan home schooling adalah mengetahui
minat anak, kemudian mengarahkannya dengan benar.
Surya Online
http://www.surya.co.id/web Powered by Joomla! - @copyright Copyright (C) 2005 Open Source MattersG. Aenll errigahtetsd :r e2s8e Frveebdruary, 2009, 11:21
Selain kurikulum, para home schooler juga harus memikirkan pentingnya bersosialisasi. Seto Mulyadi dari Asosiasi Sekolah Rumah Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Jawa Timur memberikan beberapa alternatif penerapan home schooling yang bukan individual. Misalnya, home schooling majemuk yang dilaksanakan dua keluarga atau lebih untuk kegiatan tertentu. Sementara,
kegiatan pokok tetap dilaksanakan orang tua masing-masing. Selain untuk bersosialisasi, para keluarga juga bisa memikirkan kurikulum bersama. Gabungan beberapa home schooling majemuk juga bisa menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya bias didiskusikan bersama sesuai dengan keinginan dan kesepakatan masing-masing pihak.
Hemat kata, melalui model pendidikan alternatif semacam ini, siswa selain dapat kemudahan dan pengarahan yang intensif, juga dapat dipacu untuk proaktif terhadap pembelajaran di komunitas melalui diskusi, permainan berkelompok dan berbagai ragam metode dengan harapan tercapainya tujuan proses belajar mengajar yaitu pencerdasan intelektual,
emosional dan spiritual.***

Choirul Mahfud,
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Surya Online
http://

Tidak ada komentar:

Posting Komentar